PENGELOLAAN  HAMA TERPADU (PHT)

MERUPAKAN SISTEM PERLINDUNGAN TANAMAN

RAMAH LINGKUNGAN

 

 I.  PENDAHULUAN

 

Istilah hamatanaman (dalam artian luas) adalah pemberian manusia untuk menyebut binatang, mikro-organisme, dan gulma yang mengganggu tanaman budidaya pertanian. Jadi hamatanaman adalah istilah person manusia, bukan merupakan istilah ekologi. Istilah tersebut diberikan karena OPT tersebut merupakan pesaing (kompetitor) bagi umat manusia terhadap tanaman budidaya pertanian. Oleh karena itu keberadaan hama pada lahan pertanaman tidak dikehendaki oleh manusia. Manusia merasa terganggu oleh hama, sehingga selalu berupaya untuk membunuh bahkan memusnahkan (eradikasi) dari muka bumi ini.

Pada awalnya pengendalian hamatanaman dilakukan secara sederhana yaitu dibunuh langsung dengan tangan, kemudian berkembang menjadi pengendalian yang mengandalkan musuh alami (parasitoid, predator, pathogen serangga, pathogen antagonis, pathogen gulma, serangga pemakan gulma). Pengendalian biologis bagi hamatanaman dimulai sejak abad keempat di Chinadengan memanfaatkan kucing sebagai predator tikus. Kemudian pengendalian tersebut berkembang dengan memanfaatkan berbagai peran musuh alami pada berbagai jenis komoditi pertanian. Pengendalian hayati mencapai kejayaannya pada tahun 1888 pada saat pemerintah Amerika Serikat berhasil memanfaatkan kumbang vedalia, Rodolia cardinalis, untuk mengendalikan hama kutu jeruk, Icerya purchasi, di Kalifornia.

Tuntutan akan kebutuhan pangan bagi umat manusia karena laju pertambahan penduduk yang semakin meningkat, maka pada tahun 1939 ahli kimia Robert Muller dari Swedia menemukan insektisida DDT (Dichloro Diethyl Trichloroethane). Insektisida tersebut sangat efektif membunuh berbagai jenis hama, namun musuh alami yang berada pada lahan tersebut ikut terbunuh, termasuk serangga berguna seperti lebah madu dan serangga-serangga penyerbuk. Selanjutnya peran insektisida organo-sintetik tersebut mampu menggeser peran musuh alami, mengingat insektisida tersebut daya bunuhnya cepat, mampu membunuh banyak jenis hama, sehingga hasilnya lebih cepat dirasakan oleh petani. Pada tahun 1940 dunia mulai berlomba menggunakan pestisida organo-sintetik baik dari senyawa chlorinated hydrocarbon, organo-phosphate, carbamat, maupun synthetic pyrethroid. Mulai tahun 1940 itu juga pengendalian hayati mulai surut, mulai ditinggalkan oleh petani, dan orang berpaling ke pengendalian dengan menggunakan pestisida.

Sebelum tahun 1940 pengendalianhamatanaman masih berorientasi terhadap ekologi, namun setelah menggunakan pestisida, maka orang hanya berorientasi pada pencapaian produktivitas tinggi tanpa memperhatikan ekologi. Penggunaan pestisida di lapangan semakin ditingkatkan baik konsentrasi (ml per liter air), dosis (liter pestisida per hektar), maupun frekuensi (keseringan) aplikasinya. Kenyataan menunjukkan bahwa penggunaan insektisida yang semakin ditingkatkan tersebut tidak mampu mengatasi permasalahanhama, tetapi sebaliknya menciptakan permasalahan baru yang lebih rumit dan kompleks. Permasalahan tersebut antara lain : timbul ketahanan hama terhadap insektisida, munculnya hama sekunder, timbulnya resurjensi hama, berkurang bahkan hilang berbagai jenis serangga berguna (parasitoid, predator, penyerbuk, lebah madu), adanya residu pestisida dalam tanaman, tanah, air, bahkan udara yang membahayakan keselamatan dan kelestarian alam, timbulnya pencemaran lingkungan hidup, dilihat dari segi biaya (internal dan eksternal) mahal.

Kemudian orang sadar akan dampak negatif penggunaan pestisida yang berlebihan dan tidak rasional itu akan membahayakan keselamatan dan kelestarian manusia, flora, fauna, dan lingkungan hidup. Maka pada tahun 1959 para pakar yang dimotori oleh Stern, Smith, Van den Bosch, dan Hagen mendeklarasikan konsepsi pengelolaan hama terpadu (Integrated Pest Management Concep). Konsep pengelolaanhama terpadu (PHT) menempatkan taktik pestisida merupakan pilihan terakhir apabila taktik-taktik lain sudah tidak mampu lagi menekan laju populasihama atau tingkat kerusakan tanaman di lapangan. Mewajibkan selalu melakukan pemantauan (monitoring) terhadap populasihama atau tingkat kerusakan tanaman dan musuh alamihama di lapangan secara cermat dan rutin. Menggunakan batas Ambang Ekonomi atau Ambang Kendali untuk memastikan perlu atau tidak perlu tingkat populasihama atau kerusakan tanaman di lapangan tersebut diaplikasi dengan pestisida. PHT selalu berorientasi kepada faktor ekologik, ekonomik, dan sosiologik.

 

II.  PENGERTIAN DAN KONSEP PENGELOLAAN HAMA TERPADU

 

A.  Pengertian

Adadua istilah yang sering ditemukan dari PHT, yaitu Pengendalian Hama Terpadu (Integrated Pest Control=IPC) dan Pengelolaan Hama Terpadu (Integrated Pest Management=IPM). Secara praktik pengertian dan penerapan dari kedua istilah tersebut sama, meskipun secara hakiki pengertian dari kedua istilah tersebut berbeda. IPM merupakan perkembangan lebih lanjut dari IPC, dan dalam pergaulan ilmiah IPC telah ditinggalkan, dan selalu menggunakan IPM. Di Indonesia dianjurkan menggunakan istilah Pengelolaan Hama Terpadu meskipun keduanya pelaksanaan dan tujuannya sama.

Pada awalnya PHT merupakan perpaduan antara dua taktik pengendalianhama, yaitu taktik biologis atau hayati dengan taktik pestisida. Perpaduan antara kedua taktik tersebut diperkenalkan oleh Barlett pada tahun 1956. Selanjutnya pada tahun 1959, Stern dan kawan-kawan memperkenalkan PHT, menurut mereka taktik pestisida hanya boleh digunakan apabila populasihamasudah berada pada suatu batas yang telah ditetapkan, yang dikenal sebagai Ambang Ekonomi atau Ambang Kendali. Apabila populasi hama masih berada di bawah batas tersebut maka cukup menggunakan taktik biologis, yaitu memanfaatkan peran parasitoid, predator, atau patogen serangga. Dengan adanya batas populasi tersebut maka perpaduan antara kedua taktik tersebut dapat diterapkan di lapangan.

Perkembangan selanjutnya PHT merupakan perpaduan antara taktik-taktik non pestisida (banyak taktik) dengan taktik pestisida. Taktik-taktik non pestisida secara harmonis dipadukan, dan perpaduan tersebut diharapkan mampu menekan populasihamaselalu di bawah Ambang Ekonomi sehingga keberadaanhamapada pertanaman tidak mengakibatkan kerusakan dan kerugian ekonomik. Tetapi apabila taktik-taktik non pestisida tidak mampu mengatasi laju populasihama, sehingga populasihamasampai pada batas Ambang Ekonomi, maka taktik pestisida perlu segera dilakukan. Untuk mengetahui dinamika populasihamadi lapangan, maka perlu dilakukan monitoring (pemantauan) secara rutin dan cermat. Dengan demikian diharapkan petani yang biasanya hanya mengandalkan taktik pestisida sebagai andalan utamanya berangsur-angsur mulai mengurangi aplikasi pestisida, dan mendahulukan taktik non pestisida. PHT adalah perlindungan tanaman yang bersifat ramah lingkungan, dari aspek ekonomik menguntungkan, dan dari aspek sosial dapat diterima dan diterapkan oleh petani.

Difinisi PHT dalam pustaka-pustaka sangat beragam, namun kesemuanya tidak jauh perbedaannya, masing-masing pakar menentukan penekanannya pada aspek-aspek tertentu. Misalnya Smith (1978) menyatakan PHT adalah pendekatan ekologi yang bersifat multidisipliner untuk pengelolaan populasihamadengan memanfaatkan beraneka ragam taktik pengendalian yang kompatibel dalam suatu kesatuan koordinasi pengelolaan. Bottrell (1979) menekankan bahwa PHT adalah pemilihan, perpaduan, dan penerapan pengendalianhamayang didasarkan pada perhitungan dan penaksiran konsekuensi-konsekuensi ekonomi, ekologi, dan sosiologi. Difinisi paling singkat dikemukakan olehKenmore(1989) bahwa PHT sebagai perpaduan yang terbaik. Perpaduan yang terbaik diartikan perpaduan berbagai penerapan taktik pengendalianhamaakan diperoleh hasil yang terbaik, yaitu stabilitas produksi pertanian, kerugian ditekan seminimum mungkin bagi manusia dan lingkungan, serta petani memperoleh penghasilan maksimum dari usaha taninya.

Perencanaan dan penerapan PHT harus selalu memperhitungkan dampaknya terhadap ekologis, ekonomis, dan sosiologis, sehingga secara keseluruhan akan diperoleh hasil perpaduan yang terbaik. Perencanaan, penerapan, dan evaluasi hasil PHT harus mengikuti suatu system pengelolaan yang terkoordinasi dengan baik dari tingkat pusat sampai ke tingkat petani.

 

B.  Mengapa Harus PHT ?

 

Beberapa alasan yang mendorongIndonesiaharus menerapkan PHT dalam rangka mengatasi berbagai permasalahanhamapada berbagai komoditi, antara lain :

  1. Ketidak Berhasilan Cara Pengendalian Hama Konvensional

Yang dimaksud dengan cara pengendalianhamakonvensional adalah cara pemberantasanhamayang hanya mengandalkan pada satu taktik saja yaitu taktik pestisida. Setelah keberhasilan insektisida DDT dan BHC, disusul kemunculan ratusan pestisida sintetik yang efektif sebagai insektisida, acarisida, nematisida, molusida, rodentisida, fungisida, dan herbisida. Setiap keberadaan OPT di sekitar pertanaman dianggap merugikan, sehingga perlu diberantas sampai tuntas. Serangga-serangga yang berada pada pertanaman diasumsikan sebagaihama, walaupun sebagian serangga-serangga tersebut bermanfaat. Keberhasilan produksi pertanian sangat tergantung oleh pestisida, bahkan pestisida sebagai asuransi keberhasilan produksi pertanian. Dengan demikian aplikasi pestisida semakin meningkat, bahkan digunakan secara terjadwal (tidak memperdulikan ada atau tidak populasihama) agar tanaman selalu terlindung oleh pestisida meskipun pada tanaman tersebut belum ada serangga hamanya.

Di Indonesia pestisida dikemas dalam paket teknologi BIMAS pada tanaman padi pada tahun 1970-an, dan penggunaan pestisida merupakan keharusan bagi petani padi. Petani tergiur terhadap pestisida karena selain efektif dan cepat dirasakan hasilnya, juga harga pestisida pada saat itu sangat murah dan terjangkau karena petani memperoleh subsidi pemerintah sebesar 80%. Karena pestisida di pasaran sangat melimpah dan relatif terjangkau, maka penggunaan pestisidapun sangat berlomba tidak hanya terbatas pada komoditi padi, melainkan telah menjalar ke berbagai komoditi baik tanaman pangan, tanaman perkebunan, dan hortikultura. Sejak tahun 1973 penggunaan pestisida terus meningkat dari tahun ke tahun, dan baru terlihat menurun pada tahun 1987. Penurunan penggunaan pestisida tersebut merupakan dampak dari kebijakan pemerintah, yang isinya antara lain pemerintah mencabut subsidi pestisida dan melarang penggunaan 57 jenis insektisida untuk pertanaman padi, serta pemerintah merintis penerapan PHT padi yang dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 1986.

Tidak menutup mata bahwa pestisida sangat berperan penting dalam menyelamatkan produksi pertanian terutama tanaman pangan, sehingga dapat mengantarkan bangsaIndonesiamenuju swasembada beras. Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa pestisida memiliki dampak negatif yang merugikan. Oleh karena itu penggunaan pestisida harus dibatasi seminimum mungkin, bila perlu tidak usah menggunakan pestisida. Tetapi bila terpaksa harus menggunakan pestisida karena populasihamatelah mencapai Ambang Ekonomi yang telah ditetapkan, maka harus dipilih pestisida yang selektif fisiologis dan ekologis. Untuk mengoptimumkan manfaat pestisida maka harus digunakan secara rasional dan bijaksana melalui prinsip PHT.

 

2.  Pola Perlindungan tanaman

Smith (1969) cit. Metcalf dan Luckmann (1975) bahwa terdapat 5 fase (tahap) pola perlindungan tanaman yang terjadi pada budidaya tanaman kapas di Kalifornia, dan 5 fase tersebut dapat diaplikasikan untuk komoditi lain. Adapun ke 5 fase tersebut adalah :

  1. Fase Subsisten.   Pada fase ini tanaman dibudidayakan secara sederhana, belum ada irigasi. Program perlindungan tanaman belum terorganisasi, masih mengandalkan pada pengendalian alami, menanam tanaman yang relatif tahan hama, mengambil hama langsung dengan tangan, praktik kultur teknis, dan jarang menggunakan pestisida. Hasil pertanian saat tersebut rendah, sehingga belum dipasarkan secara luas, hanya untuk dikonsumsi di desa itu atau ditukar (barter) di pasar dengan hasil pertanian lain.
  2. Fase Eksploitasi.    Pada fase ini telah terjadi perluasan lahan pertanian, program perlindungan tanaman telah terbentuk, telah memasukkan varietas baru, juga telah terbentuk pasar baru. Petani telah menggunakan insektisida sintetik untuk memberantas seranggahama. Pestisida merupakan satu-satunya taktik yang diandalkan. Penggunaan pestisida secara berlebihan baik ada OPT ataupun tidak. Pestisida digunakan secara luas dan maksimum. Pada awalnya program tersebut berhasil baik yang ditandai dengan meningkatnya produksi pertanian, baik pangan maupun serat-seratan. Keberhasilan tersebut mendorong petani untuk menggunakan pestisida lebih intensif.
  3. Fase Kritis.    Setelah beberapa tahun memasuki fase eksploitasi, dirasakan dengan semakin sering menggunakan pestisida dengan dosis yang semakin ditingkatkan, maka biaya pemberantasanhamasemakin dirasakan berat. Ditambah adanya ketahananhamaterhadap insektisida, terjadinya resurjensi, dan ledakanhamakedua. Upaya petani mengganti pestisida yang telah diaplikasikan dengan jenis baru semakin besar. Keuntungan riil yang diperoleh oleh petani semakin rendah, bahkan tidak memperoleh keuntungan sama sekali.
  4. Fase Bencana.   Apabila penggunaan pestisida pada fase kritis tersebut berlanjut, maka petani atau pengusaha akan sampai pada fase bencana. Peningkatan frekuensi penyemprotan pestisida, dibarengi dengan peningkatan dosis, pemakaian pestisida baru, pencampuran dua atau lebih jenis pestisida, tetap tidak mampu mengatasi permasalahanhama. Biaya penyemprotan pestisida semakin besar, sedang produksi pertanian rendah, mengakibatkan keuntungan semakin kecil. Ditambah masalah residu pestisida terutama dalam hasil tanaman, mengakibatkan produk pertanian tersebut tidak laku di pasaran, karena akan mengganggu kesehatan manusia.
  5. Fase PengelolaanHamaTerpadu.   Agar sasaran produksi dapat tercapai dan penghasilan petani tercapai, dan mau belajar pengalaman pahit di atas, maka petani akan mau menerima dan menerapkan PHT. Dengan menerapkan PHT biaya produksi dapat ditekan sampai minimum, produksi pertanian dibuat optimum, dan keuntungan petani atau pengusaha diupayakan maksimum.    Menurut Smith fase-fase tersebut belum tentu dilalui secara tegas, bahkan dua fase mungkin berlangsung bersamaan. Untuk Negara berkembang Smith menganjurkan untuk tidak usah melalui fase kritis dan bahaya, tetapi langsung saja ke fase kelima yaitu PHT.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            3. Tuntutan Akan Lingkungan Hidup Sehat

Pestisida adalah bahan racun dan apabila penggunaannya tidak terkendali maka akan mencemari lingkungan hidup, dan sangat membahayakan kelestarian daya dukung lingkungan maupun kesehatan masyarakat. Hasil penelitian tentang residu pestisida diIndonesiaoleh Perguruan Tinggi, Lembaga-Lembaga Penelitian, maupun Dinas-Dinas menunjukkan bahwa residu pestisida telah ada dimana-mana. Residu pestisida telah mencemari tanah, air sungai, air sumur, air minum, bahkan ada pada bagian tanaman yang dikonsumsi misalnya hasil hortikultura dan buah-buahan. Meskipun residu tersebut masih di bawah batas toleransi yang ditetapkan oleh WHO, namun penggunaan pestisida tersebut perlu dikendalikan agar tidak mencapai pada kadar yang membahayakan.

Dengan menerapkan PHT maka pencemaran lingkungan hidup oleh pestisida dapat ditekan serendah-rendahnya. Kebijakan pemerintah untuk menerapkan PHT secara nasional pada tahun 1986 mendapat penghargaan dan dukungan dari dunia internasional.

4. Kebijakan Pemerintah

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Inpres No. 3 tahun 1986 yang merupakan dasar hukum berlakunya penerapan PHT secara nasional, dan Undang-Undang No. 12 tentang system budidaya tanaman. Dengan keluarnya kebijakan pemerintah tersebut maka penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia harus berjalan lanjut karena telah memperoleh dukungan politik dan hukum dari pemerintah.

C.  Konsep PengelolaanHamaTerpadu

  1. Memahami Ekosistem Pertanian

Ekosistem adalah suatu habitat dimana organisme hidup dan faktor abiotik mengadakan interaksi sehingga mampu membentuk energi dan pola dalam siklus yang berjalan secara kontinyu (NAS, 1969 cit. Metcalf dan Luckmann, 1975). Ekosistem pertanian atau juga dinamakan agroecosystem memiliki keragaman tanaman maupun binatang sangat terbatas, jauh berbeda dengan ekosistem alami yang memiliki keragaman flora dan fauna sangat beragam seperti terlihat dalam ekosistem hutan belantara. Pada umumnya ekosistem pertanian hanya terdiri dari beberapa spesies tanaman dan hanya ada satu atau beberapa spesieshamamayor, sehingga terjadinya ledakanhamasangat dimungkinkan. Praktik budidaya tanaman mengarah ke pola monokultur dan dalam satu hamparan luas hanya terdapat 1-4 spesies tanaman dan 4-5 spesies hama mayor.

Manusia telah memanipulasi ekosistem pertanian secara intensif, baik cara bercocok tanam, maupun memasukkan bahan energi tinggi seperti pupuk dan pestisida. Akibatnya ekosistem pertanian menjadi peka oleh seranganhama, sehingga memungkinkan terjadinya ledakanhamamengingat tersedianya sumber pakan berlimpah dalam kurun waktu lama.

Memahami sifat ekosistem pertanian di atas maka dalam PHT ditekankan adanya keaneka ragaman (deversifikasi) tanaman, menghindari pola tanam monokultur dan terus-menerus, serta mengurangi masukan bahan energi tinggi (pupuk buatan dan pestisida sintetik).

 

2.  Perbandingan (Nisbah) Manfaat dan Biaya Pengendalian Hama

Manfaat pengendalian adalah besarnya nilai tambah yang diperoleh dari hasil pengendalianhama. Biaya pengendalianhamaadalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka menanggulangi masalahhamadengan tujuan mempertahankan produksi atau hasil pertanian.

Nisbah manfaat (benefit) dan biaya (cost) paling tidak bernilai 1, artinya dalam setiap kali melakukan pengendalianhama maka manfaat yang diperoleh nilainya paling tidak sama dengan biaya pengendalianhama yang telah dikeluarkan. Apabila terjadi biaya pengendalianhama lebih besar disbanding manfaat yang diperoleh maka usaha tersebut akan rugi ditinjau dari segi ekonomik, oleh karena itu  Stern dan kawan-kawan saat itu menganjurkan untuk tidak perlu melakukan tindakan pengendalian. Namun meskipun secara ekonomik dinilai tidak menguntungkan, kadang-kadang pemerintah, pengusaha, atau petani tetap melakukan tindakan pengendalianhama dengan pertimbangan lain yaitu pertimbangan politis seperti stabilitas nasional terhadap kebutuhan pangan secara nasional atau mempertahankan swasembada pangan.

3.  Perbandingan Manfaat dan Risiko

Risiko adalah dampak negatif yang dirasakan akibat penggunaan pestisida yang tidak rasional dan bijaksana. Risiko ini dapat berupa berkurang atau hilangnya serangga bermanfaat seperti musuh alamihamadan serangga penyerbuk, dekompositor, dan lebah madu. Risiko dapat juga berupa kecelakaan pada petani yang bersifat akut sehingga menyebabkan sakit atau kematian sebelum waktunya, menurunnya kesehatan petani atau tenaga penyemprot, atau konsumen. Risiko pestisida yang bersifat khronis dirasakan setelah beberapa tahun atau beberapa puluh tahun setelah itu seperti timbulnya penyakit “aneh” pada petani atau masyarakat misalnya badan gemetar berkepanjangan (tremor), rabun mata, kanker, dan penyakit lain.

Risiko tersebut merupakan biaya eksternal (external cost) yang sangat sulit dinilai dengan uang. Kalaupun dapat hanya pendekatan secara kasar, dengan pendekatan biaya pengganti (opportunity cost). Risiko pestisida banyak dirasakan pada lingkungan hidup baik yang bersifat hidup (biotik) maupun abiotik.

PHT mengupayakan risiko pengendalian taktik pestisida sekecil mungkin, melalui berbagai tindakan antara lain : pengendalian dengan pestisida dilakukan sebagai alternatif terakhir bila taktik non pestisida tidak mampu menekan populasi hama, dengan batasan Ambang Ekonomi. Idealnya PHT tidak menggunakan pestisida, tetapi bila terpaksa menggunakan maka harus dipilih pestisida yang efektif fisiologis dan ekologis, tidak bersifat persisten, memiliki daya racun (residual effect) pendek, saat aplikasi tidak boleh makan/minum/ merokok, menggunakan peralatan lengkap (celana panjang, baju/kaos panjang, kaos tangan plastik/karet, sepatu boot, topi, masker hidung/ mulut), setelah selesai badan dan alat-alat segera dibersihkan dengan sabun berulang-ulang sampai bersih. Pestisida dan alat-alat aplikasi disimpan digudang jauh dari anak-anak, hewan piaraan, dan makanan.

4.  Kesadaran Terhadap Sedikit Populasi Hama di Tanaman

PHT merupakan upaya pengelolaan populasihamasampai batas yang tidak merugikan ditinjau dari segi ekonomis, sekaligus pengelolaan dan pelestarian ekologis. Oleh karena itu PHT selalu menggunakan batas Ambang Ekonomi sebagai aras populasi dimana pada aras tersebut penggunaan pestisida dibenarkan, ini mengandung arti bahwa PHT tidak menekan populasi sampai habis (nol) tetapi masih menerima adanya populasi hama di lapangan selama populasi tersebut masih dalam batas toleransi. Hal ini sangatlah penting dalam rangka menjaga keseimbangan alami, memberi kesempatan musuh alamihamauntuk memperoleh pakan dari populasihamayang berada di bawah AE.

5.  Membuat Tanaman Lebih Sehat

PHT melakukan budidaya tanaman sehat, mulai dari pengolahan lahan, pemilihan benih/bibit unggul dan tahan terhadap hama/penyakit, penyiapan pembibitan, penanaman, pemeliharaan (pengairan/ pengeringan lahan, pemupukan berimbang, sanitasi selektif, pemantauan populasi hama/penyakit/gulma/musuh alami), pemanenan dan pengelolaan pasca panen. Semua upaya tersebut bertujuan agar tanaman budidaya relatif lebih sehat, sehingga mampu menahan seranganhama/ penyakit, dan gulma.

6.  Melakukan Pemantauan Lahan

Pemantauan populasi hama/penyakit/gulma atau tingkat kerusakan tanaman wajib dilakukan, kemudian hasil pemantauan tersebut dibandingkan dengan AE yang telah ditetapkan. Apabila populasihama/ penyakit/gulma atau tingkat kerusakan tanaman telah sampai pada aras AE yang telah ditetapkan maka penyemprotan dengan pestisida perlu dilakukan dan secara rasional tindakan tersebut dibenarkan. Di samping itu perlu dilakukan pemantauan juga terhadap populasi musuh alami hama/penyakit/gulma, dan apabila diperoleh hasil bahwa populasi musuh alami tersebut cukup tinggi maka meskipun aras populasi hama/penyakit/gulma hasil pemantauan sudah sampai pada aras AE, tetapi penyemprotan pestisida perlu ditangguhkan untuk memberi kesempatan pada musuh alami tersebut beraksi.

Kondisi lingkungan perlu pula dipantau mengingat faktor lingkungan sangat berperan terhadap naik turunnya populasihama/ penyakit/gulma. Faktor lingkungan tersebut misalnya suhu, kelembaban, curah hujan, intensitas penyinaran matahari, serta arah dan kecepatan angin.

Pemantauan harus dilakukan secara rutin dan cermat. Rutin artinya pemantauan dilakukan secara terus-menerus selama satu musim tanam dalam interval tertentu misalnya satu minggu sekali. Interval pemantauan akan diperpendek apabila populasi hama/penyakit/gulma telah mendekati AE. Cermat artinya pemantauan tersebut dilakukan secara teliti dan serius, dengan metode pengamatan yangbakudan benar.

7.  Sosialisasi Konsep PHT

PHT merupakan suatu konsep yang penerapannya masih perlu menyesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat, mengingat tiap-tiap daerah memiliki agroecosystem yang khas yang kadang berbeda dengan daerah lain. Konsep PHT secara nasional sama, namun penerapan di lapangan perlu pengembangan dan penyesuaian dengan kondisi setempat (lokal).

Pada saat merintis penerapan PHT memerlukan percontohan konkrit, dalam bentuk demonstrasi plot maupun demonstrasi area. Kemudian pemerintah mengadakan SL PHT (Sekolah Lapangan Pengelolaan Hama Terpadu) bagi kelompok tani atau petani maju. Upaya ini dilakukan dalam rangka mengenalkan PHT secara luas kepada petani agar para petani mau dan mampu melaksanakan PHT tersebut dengan penuh kesadaran, bukan paksaan. PHT dilaksanakan secara koordinasi dari tingkat pusat sampai daerah. Jaringan PHT melalui dua jalur, yaitu jalur pusat ke daerah dan dari daerah ke pusat. Secara yuridis penerapan PHT memiliki dasar hukum, yaitu Inpres No. 3 tahun 1986. Untuk mempercepat informasi tentang PHT kepada petani perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat luas, menyelenggarakan pelatihan-pelatihan, kursus-kursus singkat, dan memperluas penyelenggaraan SL PHT.

 

D.  Unsur-Unsur Dasar dan Taktik PHT

Watson et.al. (1975) membedakan dua kelompok pengetahuan dan informasi yang perlu diketahui dan dikembangkan. Dua kelompok tersebut adalah (1) Unsur-unsur dasar PHT, terdiri dari empat yaitu (a) pengendalian alami, (b) pemantauan hama, (c) aras ekonomik, (d) biologi dan ekologi hama. (2) Taktik-taktik PHT meliputi taktik non pestisida dan taktik pestisida.

Unsur-unsur dasar harus ada setiap kali menerapkan PHT, sedang taktik PHT perlu dicari taktik-taktik yang kompatibel agar dapat bekerja secara optimal dengan mempertimbangkan kondisi agroecosystem setempat. Selanjutnya kedua kelompok tersebut dapat digambarkan sebagai suatu bangunan yang disangga oleh empat pilar dari unsur-unsur dasar, dan diberi atap dari taktik-taktik PHT. Kesemuanya itu bermuara untuk melindungi dan melestarikan agroecosystem dari pencemaran pestisida.

 

III.  HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN

 

Penerapan PHT melalui model sengkelit tertutup (closed loop system), terdiri dari tiga anasir yaitu anasir monitoring, anasir penentu keputusan, dan anasir pelaksana (tindakan). Masing-masing anasir mempunyai tugas dan fungsi sendiri-sendiri. Anasir monitoring bertugas mengumpulkan data populasihama atau tingkat kerusakan tanaman, populasi musuh alami, serta kondisi lingkungan kawasan yang dikelola. Data yang telah diperoleh dipasokkan kepada anasir penentu keputusan, yang bertugas mengolah data tersebut, dan mengambil keputusan tentang pengelolaanhama. Hasil olahan data tersebut disampaikan kepada anasir pelaksana (tindakan) dalam bentuk rekomendasi tentang pengelolaanhama terpadu. Selanjutnya anasir pelaksana menerapkan rekomendasi tersebut pada tanaman budidayanya dalam agro-ekosistem. Setelah rekomendasi dijalankan, maka anasir monitoring melakukan evaluasi tentang efektivitas PHT tersebut di lapangan. Data hasil evaluasi disampaikan kepada anasir penentu keputusan, untuk dianalisis dan diolah kembali, hasil olahan tersebut ke luar sebagai rekomendasi baru yang sarat dengan perbaikan-perbaikan. Kemudian anasir pelaksana menerapkan rekomendasi baru tersebut pada lahan pertaniannya. Kembali anasir monitoring mengevaluasi hasil pelaksanaan PHT tersebut, kemudian diserahkan kepada anasir penentu keputusan untuk kembali dianalisis, selanjutnya keluar rekomendasi baru lagi, demikian seterusnya sehingga program tersebut berlangsung dengan alur tertutup yang berjalan terus menerus.

 

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pada satu jenis komoditi selalu diserang oleh banyak jenis hama. Misalnya pada komoditi padi banyak hama yang ditemukan menyerang tanaman tersebut, antara lain : nematoda puru akar padi (Meloidogyne graminicola), penggerek batang padi (Scirpophaga innotata, Scirpophaga incertulas, Chilo suppressalis, Sesamia inferens, C. polychrysus), Kepinding tanah (Podops vermiculata), walang sangit (Leptocorisa oratorius), wereng coklat (Nilaparvata lugens), wereng hijau (Nephotettix virescens), belalang (Valanga nigricornis, Oxia chinensis), ulat grayak (Spodoptera mauritia), hama putih (Cnaphalocrosis medinalis), hama putih palsu (Nymphula depunctalis), tikus sawah (Rattus rattus argentiventer), burung pemakan biji, dan masih banyak lagi. Kemudian muncul pertanyaan hama mana yang akan menjadi sasaran PHT ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat, maka perlu hama-hama tersebut dikelompokkan berdasarkan pada status hama. Status hama dibedakan menjadi lima, yaitu : (1) Hama utama atau hama kunci (Main Pest atau Key Pest), (2) Hama kedua atau hama kadang-kadang (Secondary Pest atau Occationally Pest), (3) Hama potensial (Potentially Pest), (4) Hama migran (Migrant Pest), (5) Bukan hama (Non Pest). Sasaran PHT adalahhama utama atauhama kunci, tetapi statushama lain sepertihama kedua,hama potensial, danhama migran perlu diperhatikan dan diwaspadai karena statushama tersebut sangat peka terhadap pengendalian dan perubahan kondisi lingkungan.

Aras Ekonomik penting dalam PHT meliputi AE (Ambang Ekonomi) dan ALE (Aras Luka Ekonomi). Pada prinsipnya AE adalah batas populasihamayang memerlukan tindakan pengendalian dengan taktik pestisida. Taktik pestisida perlu dilakukan untuk mencegah agar populasi tidak pernah sampai ke ALE. Apabila populasihamasampai ke ALE berarti petani atau pengusaha akan menderita kerugian sebagai dampak seranganhama. PHT bertujuan mengupayakan populasihamasasaran selalu berada di bawah garis AE melalui berbagai taktik pengendalian non pestisida yang kompatibel. Gambar di bawah menunjukkan penerapan taktik-taktik pengendalianhamadalam PHT dalam kaitannya dengan AE dan ALE.

Perlu dilakukan pemantauanhamayang cermat dan rutin untuk mengetahui kedudukan populasihamadi lapangan pada saat itu dikaitkan dengan garis AE dan ALE, dalam rangka perlu atau tidak disemprot dengan pestisida.